Wednesday, May 4, 2011

Ketika Salah Memaknai Cinta

SEKARANG kaum yang mengalami penyimpangan kecenderungan seksual, sudah tidak malu dan segan lagi untuk menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya.
Apalagi ketika baru-baru ini, massa digemparkan dengan tertangkapnya Sang Penjagal dari Jombang Jatim, Feri Idham Henyansyah alias Ryan yang disinyalir memiliki kelainan orientasi seksual alias gay. Ryan tersangka mutilasi Heri Santoso 12 Juli lalu dan terakhir ditemukan 10 kerangka korban lainnya yang ditanam di belakang rumahnya di Jombang. Motif pembunuhan di antaranya asmara dan harta.
Opini publik bermunculan dan tidak ketinggalan para selebritis di Tanah air. Termasuk seorang artis laki-laki yang pernah dengan terang-terangan mengaku gay, lewat sebuah acara infotainment beberapa waktu lalu, juga ikut berkomentar.
Ada kontroversi, sebagian mengutuk tapi tidak sedikit yang malah membela dan mengasihaninya. Bahwa kaum yang memiliki kelainan orientasi seksual memang cenderung posesif terhadap pasangannya.
Bahkan saking errornya ada sebuah ungkapan bahwa cinta nomor satu, jenis kelamin nomor dua, yang penting kasih sayang.
Mereka mengklaim perbuatan mereka dengan dalih Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka mengatasnamakan HAM untuk melegalkan aktivitas menyimpang tersebut dalam memaknai cinta.
Apalagi sekarang juga marak para selebritis yang jelas-jelas laki-laki tapi senang berpenampilan perempuan. Mereka melakukannya dengan dalih tuntutan pekerjaan atau profesionalisme. Namun ternyata ini tidak sekedar masalah penampilan yang menyerupai perempuan saja, tapi juga bergeser sampai keraguan terhadap orientasi seksual mereka.
Anehnya, perilaku menyimpang tersebut malah dinikmati sebagai tontonan yang menarik dan menghibur bagi masyarakat kita. Kenapa fenomena rusak ini sampai terjadi? Bukankah ini sudah mengindikasikan bangkitnya kaum Luth di Indonesia?
Kalau fenomena ini terjadi di negara barat yang notabene menganut asas sekuler, hal ini sah-sah saja bahkan aktivitasnya dilindungi dan dijamin pelaksanaannya oleh negara dengan melegalkan perkawinan sesama jenis ini.
Tapi, ironisnya fakta ini juga marak di Indonesia yang merupakan negeri dengan mayoritas penduduknya adalah muslim.
Ternyata semakin maraknya praktik ‘Kaum Luth’ di Indonesia tidak terlepas dari adanya legitimasi dari sejumlah cendekiawan bidang agama yang secara terbuka menghalalkan perkawinan sesama jenis ini. Salah satunya Prof Dr Siti Musdah Mulia, dosen pascasarjana UIN Jakarta yang juga aktivis AKKBB.
Dalam salah satu wawancaranya dengan Jurnal Perempuan (Maret,2008), Musdah menyatakan: “Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya…”
Pandangan Islam
Islam adalah dien yang sempurna, karena bersumber dari Sang Maha Sempurna yaitu Allah SWT. Manusia diciptakan oleh Allah beserta segenap potensinya, termasuk naluri berkasih sayang (gharizah nau’).
Seperti dalam sebuah lagu bahwa rasa cinta itu pasti ada pada makhluk yang bernyawa. Baik itu kepada sesama manusia, entah itu cinta kepada orang tua, saudara, lawan jenis bahkan dengan dirinya sendiri. Intinya, cinta adalah naluri fitrah yang sudah ada sepaket dengan penciptaan manusia.
Oleh karena itu, Islam tidak pernah melarang untuk mencintai, cuma yang selalu jadi catatan adalah apa dan bagaimana aktivitas pemenuhan/penyaluran rasa cinta itu.
Ya, inilah poin dari pembahasan tentang memaknai cinta ini. Manusia sering egois dengan membuat tafsir dan memaknai sendiri sesuai dengan hawa nafsunya terhadap hal yang menyangkut dirinya. Akhirnya cinta pun dimaknai dengan sebebas-bebasnya, diagung-agungkan sebagai sesuatu yang mutlak dipenuhi.
Hal ini sejalan dengan hasil pemikiran Sigmund Freud, seorang psikolog asal Austria yang akhirnya mengubah makna cinta yang mulia menjadi semata urusan seksual, cinta yang harus disalurkan dengan sebebas-bebasnya agar manusia merasa bahagia.
Pandangan Freud inipun berpengaruh pada masyarakat dunia dan dengan disokong oleh media yang ikut mempropagandakan budaya hidup hedonis dan permissive ini.
Dalam Islam gharizah nau adalah fitrah manusia. Secara alamiah ada dalam dirinya dan terdorong untuk memenuhi/menyalurkannya. Dalam hal inilah Islam mengatur bagaimana aktivitas pemenuhan GN yang benar sesuai syariat. Hal itu tidak lain hanyalah melalui sebuah ikatan suci pernikahan dan hanya berlaku kepada pasangan lawan jenis, laki-laki dengan perempuan bukan sesama jenis.
Sebelum adanya ijab kabul, maka syariat membatasi pergaulan antara lawan jenis ini. Islam juga menetapkan bahwa arah hubungan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan adalah untuk melanjutkan keturunan.
Seperti firman Allah SWT, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah yang menciptakan kalian dari satu jiwa. Dari jiwa itu Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak” (Q.S An-nisa: 1).
Lalu pertanyaannya, bagaimana kalau cinta dengan sesama jenis? Bisa-bisa umat ini akan lost generation seperti yang terjadi di negara barat yang melegalkan perkawinan sesama jenis.
Akhirnya, hanya satu kesimpulan bahwa fenomena buruk ini bukti semakin jauhnya Islam dengan umatnya. Saatnya kita tinggalkan sistem kapitalis sekuler yang rusak dan kufur ini.
Bangsa kita sudah penuh himpitan masalah dan berbagai bencana tak henti menimpa. Jangan sampai Allah menimpakan hukuman sebagaimana yang terjadi pada kaum Luth.
Solusi komprehensifnya adalah dengan kembali ke penerapan sistem Islam menjadi pemecah semua masalah dan yang pasti membawa maslahat dan ridho Allah SWT.

Penulis: Pembina Integrasi Studi Islam (ISI)
STIA Amuntai
Sumber : http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/44907/644/
http://baitijannati.wordpress.com/2008/08/18/ketika-salah-memaknai-cinta/

0 comments:

 
 

© Bluberry Template Copyright by Qonita Abdurohman Al Firdaus

Template by Blogger Templates | Blog-HowToTricks